Pentingnya Otokritik dan Pendidikan (Alternatif) di Kala Munculnya Mobilisasi Massa dalam Isu-isu Elektoral
Bisa dikatakan, dalam esai ringkas ini, saya hendak memantik keingintahuan setiap individu agar tidak mudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang menggunakan sebuah isu demi kepentingannya sendiri. Seperti misalnya dalam polemik RUU Ciptaker (bermetode Omnibus Law), saat ini.
Sebut saja pihak-pihak tersebut ialah pihak yang mempunyai peran di dalam isu-isu elektoral ini, semacam parpol, perwakilan BEM mahasiswa, perwakilan serikat, maupun pihak-pihak plutokrat dengan invisible hand-nya. Dan tentu saja kepentingan-kepentingan tersebut diantaranya ialah untuk memperoleh identitas sosial, simpati massa, atau kedudukan, dan seterusnya.
Itu sebabnya, agaknya memang masuk akal bahwa hidup itu tidak sesederhana atau tersistematis seperti yang kita kira atau seperti yang biasa kita hidupi saat ini.
Contohnya, kita sudah terbiasa mempercayai adanya struktur kultus-kultus kepemimpinan/perwakilan, serta memegang semboyan hidup kerja, kerja, kerja, dan lawan, lawan, lawan, tetapi ironisnya---tanpa berupaya mencari pengetahuan alternatif demi memperoleh kesadaran baru.
Sehingga, seringkali kita terjebak pada dogma-dogma gerakan atau perlawanan yang bersifat ultra-konservatif.
Jika keterbiasaan-keterbiasaan di atas itu yang senantiasa kita pegang. Maka, fenomena-fenomena/isu-isu semacam ini akan terus muncul secara berkelanjutan---dan pada akhirnya hanya menjadikan setiap manusia sekedar hidup sebagai martir.
Jadi, bagaimana cara mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan di atas? Jawabannya ialah, mencari pengetahuan alternatif sebanyak mungkin (misalnya pengetahuan yang bersifat sosialis-libertarian). Sehingga kita bisa mendapatkan kesadaran-kesadaran baru yang EFEKTIF sekaligus ORGANIK untuk menyiasati kebuntuan-kebuntuan yang dihasilkan oleh mobilisasi massa di dalam wilayah pseudo-demokrasi ini.
Di samping itu, kita juga tidak mudah dikendalikan, serta dapat menolak berbagai edukasi palsu yang telah dilayangkan oleh pihak-pihak tertentu tersebut.
Pengetahuan Sosialis-Libertarian dan Kebuntuan Pseudo-Demokrasi.
Saya disini tidak akan membahas tentang pengetahuan alternatif ataupun pengetahuan yang bersifat Sosialis-Libertarian, lantaran cakupannya yang terlampaui luas dan membuat esai ini tidak efisien.
Saya hanya menyarankan agar mencari sendiri apa itu pengetahuan alternatif ataupun pengetahuan bersifat sosialis-libertarian tersebut. Sebab sudah banyak literatur atau artikel-artikel yang membahas soal "pendidikan alternatif".
Jadi, yang ingin saya katakan disini ialah. Bukankan memahami birokrasi itu rumit sekaligus tidak masuk akal ? Dan bukankah sekedar menuntut itu seringkali hanya akan berbuah kesia-sian di dalam wilayah pseudo-demokrasi ini ? Bahkan, yang ada justru kita hanya sekedar memberi panggung seseorang untuk mencari identitas sosial, yang pada akhirnya memunculkan idol/patron yang cepat/lambat juga akan mengelabuhi kita ?
Itu sebabnya, betapa pentingnya pengetahuan alternatif, bukan sekedar teriak-teriak ikut trend (yang sebetulnya masih kabur dalam melihat trend tersebut).
Maka dari itu, sekiranya kita tidak perlu terlalu menjadi ultra-konservatif. Cobalah sesekali mengeksplor pengetahuan-pengetahuan alternatif untuk menyiasati berbagai hal yang bersifat ultra-konservatif tersebut.
Apakah menjadi seorang yang berupaya mempunyai prinsip berunsur Sosialis-Libertarian itu mungkin? Tentu mungkin.
Sebab, jika eksperimen skala besar (sekaligus tergesa-gesa) hanya berbuah kekecewaan, maka eksperimen skala kecil atau bahkan yang teramat kecil lagi pasti bisa diwujudkan.
Sebagai penutup esai ini, mungkin penggalan dari risalah metaforis yang ditulis oleh seorang begawan bernama Friedrich Nietzsche dibawah ini menarik untuk kita pahami dalam pengetahuan/pendidikan alternatif kita;
"Selalu ada alasan dalam kegilaan.
Dan siapapun yang menari akan dianggap gila oleh mereka yang tak bisa mendengar musik" ---Friedrich Nietzsche
Komentar
Posting Komentar